Tampilkan postingan dengan label fakta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fakta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Januari 2018

Kedaulatan Pangan Sebagai Basis Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional


Konsep kedaulatan pangan secara resmi telah menjadi tujuan dan juga pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimna tercantum dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Namun demikian, sampai saat ini perumusan dan pemahaman  tentang kedaulatan pangan masih beragam dan kurang jelas. Tulisan ini bertujuan melakukan review konsep kedaulatan pangan yang berlangsung di dunia internasional dan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kedaulatan pangan merupakan suatu strategi dasar untuk melengkapi ketahanan pangan sebagai tujuan akhir pembangunan pangan, karena kedua konsep ini sesungguhnya sejalan dan saling melengkapi. Hasil dari pendalaman terhadap berbagai konsep, dirumuskan bahwa kedaulatan pangan berkenaan dengan hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah dan juga nasional. http://syahyutipetani.blogspot.co.id/

PENDAHULUAN
Indonesia telah memiliki Undang-Undang pangan yang baru untuk menggantikan UU Nomor 7 Tahun 1996 yang telah berusia 16 tahun, yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU baru ini, persoalan pangan ditujukan untuk mencapai tiga hal sekaligus yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan katahanan pangan. Dengan demikian, UU baru ini akan menjadi identitas baru atau aransemen kelembagaan baru bagi pembangunan pertanian dan pangan Indonesia.
Masuknya aspek kedaulatan pangan merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (biasanya disingkat ECOSOC Rights). Basis argumennya adalah bahwa selama ini negara belum secara sistematis mampu mengakui hak atas pangan warganya. Dengan kedaulatan pangan, diharapkan tidak lagi dijumpai persoalan-persoalan dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan, rawan pangan dan sebagainya. UU Pangan yang baru ini berupaya memberikan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan warga negaranya.
Selama ini, pendekatan pembangunan pangan Indonesia mengandalkan kepada pendekaan “ketahanan pangan”. Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dan pertanian terkait pangan pada umumnya. Namun, dengan UU yang baru diadopsi juga paradigma ”kedaulatan pangan”. Konsep dan pendekatan kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan pencapaian ketahanan pangan.
Diadopsinya kedaulatan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian nasional membutuhkan penyusunan rencana dan pendekatan pembangunan pangan yang berbeda. Namun demikian, setelah hampir mencapai 3 tahun sejak diundangkan, perumusan dan pemahaman konsep tentang kedaulatan pangan belum memperoleh kesepakatan yang tegas. Berbagai wacana yang berkembang masih membatasi diri kepada ketahanan pangan, bahkan sebagian pihak menampakkan penolakan halus terhadap kedaulatan pangan, sebagian alasannya adalah karena berasal dari pihak NGO. Tulisan ini bertolak dari kondisi tersebut, untuk melakukan analisis review konseptual dari bebagai pemikiran yang berkembang dari berbagai kalangan, untuk lalu memberikan masukan untuk rumusan yang lebih sesuai bagaimana mestinya kedaulatan pangan dimaknai dan dijalankan di Indonesia.
Wacana tentang kedaulatan pangan masih baru di Indonesia, dan hampir tidak ada referensi ilmiah yang bisa diacu, termasuk hasil-hasil penelitian. Pada aras ilmiah, objek ini pun belum memperoleh perhatian, sehingga belum ada seminar serius yang membicarakannya. Namun, persoalan ini sangat penting disampaikan, karena telah hampir 3 tahun semenjak UU No 18 tahun 2012 dikeluarkan dan pemahaman terhadap konsep “kedaulatan pangan” masih lemah.
Karena keterbatasan tersebut, tulisan ini disusun dari berbagai sumber baik buku, paper maupun hasil-hasil penelitian di level internasional, yang dipadukan dengan berbagai dokumen kebijakan yang telah mengandung pembahasan tentang kedaulatan pangan. Bahan-bahan yang diperoleh berupa ide dan pemikiran serta praktek di berbagai wilayah di dunia dianalisis secara kualitatif, sehingga format tulisan menjadi sebuah review ilmiah.

HISTORIK PERKEMBANGAN KONSEP KEDAULATAN PANGAN TAHUN 1992 SAMPAI 2015
Tidak bisa dipungkiri, kedaulatan pangan adalah konsep yang lahir sebagai respon dari kekecewaan pembangunan pangan yang terjadi di banyak belahan dunia. Meskipun pembangunan pertanian dan pangan telah mampu mencapai produksi dan produktivitas yang tinggi, namun sebagian petani terutama di negara berkembang hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera, berlangsungnya kerusakan sumber daya pertanian, dan juga perdagangan yang tidak adil. Banyak pihak tidak puas terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia. Bukti menunjukkan bahwa meskipun ketahanan pangan tercapai, namun belum mampu menjamin kondisi pangan lokal dan juga tidak mampu mengangkat martabat petani.
Ketahanan pangan merupakan konsep yang diterima luas di banyak negara dan telah berjalan cukup lama. Konsep ”ketahanan pangan” (food security) mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, sedangkan “kedaulatan pangan” mulai diwacanakan semenjak  tahun 1992 atau lebih dari 30 tahun setelahnya.
Perkembangan Konsep Kedaulatan Pangan di Dunia Internasional
Paparan berikut memperlihatkan secara kronologis bagaimana perubahan batasan, tekanan dan fokus dalam kedaulatan pangan semenjak pertama kali diciptakan tahun 1992. Perkembangan ini tidak hanya dalam konteks konsep secara an sich, namun juga berbagai pemikiran, kesepakatan-kesepakatan, dan aksi yang mendukung kristalisasi konsep kedaulatan pangan yang juga mencakup keterlibatan organisasi pangan resmi dunia yakni FAO.
Konsep kedaulatan pangan dilahirkan pertama kali saat pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Kegiatan ini dikoordinasikan oleh petani yang tersebar mulai dari Afrika, Amerika Utara, Tengah dan Selatan; Asia, Karibia dan Eropa. Para pencetus dan penggerak ini berada dalam organsiasi Via Campesina yang mencakup Family Farmers’ Association (UK), Confederation Paysanne (France), Bharatiya Kisan Union (India), Landless Workers' Movement (Brazil), National Family Farm Coalition (USA) dan para  petani tak bertanah Landless Peoples' Movement (South Africa).
Lalu pada bulan April 1996, berlangsung pertemuan kedua yang dilaksanakan di Tlaxcala (Mexico). Dari pertemuan ini berhasil dirumuskan visi yakni: ” "Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan mengembangkan kemampuannya sendiri untuk menghasilkan pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem produksinya sendiri. Masyarakat memiliki hak untuk memproduksi makanannya sendiri di wilayahnya. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat untuk mencapai keamanan pangan sejati (genuine food security)"  (Via Campesina, 1996). Semenjak kegiatan ini, berbagai publikasi, pernyataan dan deklarasi telah disampaikan dalam konteks kerangka kerja kedaulatan pangan.
Pemikiran ini dikristalkan sebagai sebuah gerakan, dimana pada tahun 2002 berhasil dibentuk sebuah komite yaitu International Planning Committee (IPC) untuk kedaulatan pangan. IPC merumuskan bahwa kedaulatan pangan memiliki empat area priritas atau pilar, yaitu: 
(1) hak terhadap pangan 
(2) akses terhadap sumber-sumber daya produktif, 
(3) pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production), serta 
(4) perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006). Hak terhadap pangan dikaitkan dengan pengembangan pendekatan hak asasi manusia pada individu, serta pangan bergizi yang diterima secara kultural.  Sedangkan akses kepada sumber daya produktif berkaitan dengan akses kepada lahan, air, dan sumber genetik.
Kedaulatan pangan dimaknai sebagai suatu model produksi pertanian agro-ekologis, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan mendorong pasar lokal, menggunakan instrumen dari International Planning Committee for Food Security (IPC), pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal, lebih cenderung antipaten, serta wacana lingkungan rasionalisme hijau (green rationalism). Disini kedaulatan pangan diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing (IPC, 2006). Kedaulatan pangan mensyaratkan pengendalian sistem produksi distribusi dan konsumsi pangan. Sehingga, konsep ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak punya lahan pertanian seperti Singapura.
Pada tahun 2002, yakni pada tanggal 13 Juni 2002, dalam pertemuan FAO “World Food Summit: five years later” disimpulkan analisis politik berkenaan dengan Forum for Food Sovereignty. Forum ini dilangsungkan di Roma dari 8 sampai 13 Juni 2002, yang dihadiri 700 NGO, CSOs dan perwakilan gerakan sosial, mencakup petani, nelayan, peternak, masyarakat adat, pegiat lingkungan (environmentalists), organisasi perempuan, dan serikat buruh. Forum ini mengupas berbagai dampak negatif dari perdagangan dunia, sehingga bahkan kepala negara dan perwakilan delegasi pemerintah mengeluarkan tuntutan untuk mengeluarkan pertanian dari WTO. “Kami menyerukan diakhirinya kebijakan ekonomi neoliberal yang dipaksakan oleh Bank Dunia, WTO, IMF dan negara-negara Utara serta perjanjian perdagangan bebas multilateral dan regional lainnya ...... Kami menuntut penghapusan pertanian dari WTO ...) (FAO, 2006).
Berikutnya, pada tahun 2004, dari dokumen The UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) tahun 2004  ditekankan pada aspek kolektif hak terhadap pangan. Selengkapnya disebutkan bahwa: "..... Menekankan pada aspek kolektif hak atas pangan dikombinasikan dengan hak untuk menjaga dan memperkuat lembaga-lembaga, budaya, dan tradisi, termasuk pula kegiatan subsisten dan hak untuk mengakses lahan dan sumber daya yang ada. Isi normatif dari hak atas pangan pada hakekatnya meliputi penerimaan secara budaya terhadap pangan yang tersedia".
Lalu, dari dokumen Pedoman 10.10 dari FAO yakni Voluntary Guidelines To Support The Progressive Realization Of The Right To Adequate Food In The Context Of National Food Security (Pedoman Sukarela Untuk Mendukung Secara Progresif Realisasi Hak Untuk Pangan Yang Memadai Dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional) tahun 2004), mengafirmasi tanggung jawab negara terhadap aspek kultural dari nutrisi dan pola makan masyarakatnya (FAO, 2005).
Tahun 2006, organisasi petani dalam kelompok Via Campesina merumuskan batasan kedaulatan pangan sebagai hak setiap suku bangsa untuk menjaga dan mengembangkan kemampuan mereka dalam memproduksi  pangan. “Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan mengembangkan kemampuan sendiri untuk menghasilkan pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem produksinya. Kami memiliki hak untuk memproduksi makanan kita sendiri di wilayah kita sendiri " (Via Campesina, 2006). Selain itu juga dipertegas bahwa kedaulatan pangan diposisikan sebagai prasyarat untuk mencapai ketahanan pangan (Via Campesina, 2006).
Satu peristiwa penting berlangsung tahun 2007, yakni serangkaian pertemuan yang menghasilkan “Declaration of Nyéléni”, yakni Forum for Food Sovereignty tahun 2007. Dari pertemuan ini dirumuskan bahwa “Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat untuk makanan sehat dan sesuai dengan budayanya, yang dihasilkan melalui teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk mengasilkan pangan dan pertanian dengan sistem mereka sendiri”. Perbedaan batasan dengan tahun 1996 adalah dari hak negara (right of each nation) menjadi hak masyarakat (right of people).
Selengkapnya dari deklarasi ini, dirumsukan bahwa kedaulatan pangan adalah: "Hak masyarakat, komunitas, dan negara-negara untuk mendefinisikan pertanian, tenaga kerja, memancing, pangan dan tanah sesuai kebijakan mereka sendiri secara ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan keadaan mereka yang unik. Ini mencakup hak atas pangan dan hak untuk memproduksinya, yang berarti bahwa semua orang memiliki hak untuk pangan yang aman, bergizi dan sesuai dengan budayanya, serta hak terhadap sumber makanan, hak untuk memproduksi dan kemampuan untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan masyarakat mereka. Kedaulatan pangan mengutamakan pada hak masyarakat untuk pangan dan sistem memproduksinya, sekaligus keprihatinan terhadap sistem perdagangan" (Global Politics, 2012).
Satu dokumen penting dikeluarkan tahun 2010, dimana direktur FAO, José Graziano da Silva, menekankan komitmen FAO saat mengutip isi dokumen The Voluntary Guidelines on Responsible Governance, bahwa FAO akan melibatkan berbagai  stakeholder dan pentingnya melibatkan aktor baru dalam pembangunan dunia yang diinginkan. Partisipasi penuh dari masyarakat sipil, gerakan sosial (social movements), dan masyarakat adat merupakan sesuatu yang sangat penting bagi FAO.
Pada tahun 2010  dipublikasikan dokumen FAO yaitu Policy on Indigenous and Tribal Peoples (2010). Garis kebijakan ini  berakar dari deklarasi PBB terhadap hak-hak masyarakat asli (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). (UN. 2010). Kedaulatan pangan terus berkembang dan banyak mendapat dukungan. Pada tahun 2012, dari dokumen The Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries, and Forests in the Context of National Food Security yang dikeluarkan oleh Committee on World Food Security (CFS), dicantumkan dengan agak panjang terbaca  tentang hak bersama dan regulasi tentang pengusahaannya (collective rights and customary forms of tenure) dimana disampaikan secara eksplisit tentang komunitas asli (indigenous communities) dan kewajiban negara (UN, 2010).
Pada konferensi regional FAO ke-22 wilayah Amerika Latin dan Karibia di Buenos Aires pada bulan  Maret 2012, FAO berjanji akan membuka diskusi yang lebih luas dan dinamis berkenaan dengan partisipasi masyarakat sipil dan kaum akademis, tentang konsep kedaulatan pangan (paragraf ke 25). Juga disepakati bahwa konsep kedaulatan pangan bukanlah lawan ataupun alterantif dari ketahanan pangan, dan sesungguhnya lebih sebagai kebijakan pangan yang sifatnya lebih mendasar.
Setahun berikutnya, yakni tahun 2013,  organisasi IFAD (The International Fund for Agricultural Development) memberikan dana dan menggerakkan kegiatan pemberdayaan untuk kelompok miskin.  Untuk memungkinkan kelompok miskin pedesaan mengatasi kemiskinan mereka dengan terlibat dalam aktivitas mata pencaharian pertanian pedesaan. Ini dicapai melalui pengakuan hak atas pangan dan  dukungan kebijakan yang mencoba untuk mewujudkan dukungan keuangan untuk prakarsa pembangunan, investasi yang berpusat pada rakyat, dan pendekatan yang ditargetkan untuk pengembangan dan membangun inisiatif dan aset masyarakat pedesaan. Bantuan diberikan dalam acara indigenous peoples’ forum di Roma pada bulan Februari 2013. Disebutkan bahwa masyarakat adat akan diundang untuk menilai proyek-proyek yang akna dijalankan IFAD dan untuk mengembangkan pendekatan bersama pada kedaulatan pangan dan hak atas pangan" (UN, 2010).
Pada tahun 2013, dilangsungkan The VI International Conference of La Via Campesina di Jakarta. Konferensi 20 tahun ini dilaksanakan di Jakarta tanggal 9-13 Juni 2013, yang dihadiri pula oleh Menteri Pertanian. Konferensi ini menghasilkan kesepakatan internasional untuk mempromosikan kedaualatan pangan. Disepakati suatu konsensus di antara organisasi-organisasi petani dari berbagai negara untuk mempromosikan kedaulatan pangan yang sesuai dengan prinsip ekologis dan sosial, dan tidak dipandang  hanya sekedar satu model pembangunan saja. Mereka bersatu dalam perjuangan mereka melawan agribisnis yang menghancurkan masyarakat manusia dan alam (They are united in their struggle against agri-business which is destroying human communities and nature.”).
FAO menjadikan tahun 2014 sebagai tahun Pertanian Keluarga (Family farming). Dari dokumen “Community Family Farming: An Ally For Food Sovereignty And The Fight Against Hunger” (Moreira, 2014) terbaca bahwa pertanian keluarga dan pendekatan kedaulatan pangan merupakan strategi untuk memerangi kelaparan dunia. The International Year of Family Farming (IYFF) diumumkan secara resmi oleh PBB di New York tanggal 22 November 2013. Kondisi terakhir, yakni tahun 2015,  PBB merumuskan dekalarasi kedua tentang hak-hak petani (The 2nd Session For Declaration On The Peasants Rights). Deklarasi dilangsung di Genewa - Swiss pada tanggal 6 Februari 2015. Hal ini merupakan rangkaian kegiatan dalam konteks the UN Human Rights Council resolution 26/26 of 2014 yang memberikan  mandat kepada kelompok kerja antar pemerintah (intergovernmental working group) untuk menegosiasikan dan memfinalkan draft UN Declaration On The Rights Of Peasants And Other People Working In Rural Areas. Ini merupakan sebuah upaya panjang yang sudah berlangsung selama 14 tahun.
Perkembangan Kedaulatan Pangan dalam Kebijakan Pemerintah Indonesia
Sampai saat ini setidaknya ada lima referensi pokok yang dapat diacu tentang apa itu makna kedaulatan pangan. Referensi disusun berdasarkan tahun keluarnya untuk memperlihatkan dinamika perkembangan konsep yang terjadi.

i Satu, 
Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Pada pasal 1 disebutkan bahwa: “Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal”. Terlihat bahwa ada dua pihak terkait kedaulatan pangan yakni: 
(1) negara yang memiliki hak secara mandiri untuk menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat; serta 
(2) masyarakat yang juga berhak menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal.
Jika ditelusuri baris per baris dari seluruh pasal dalam UU Pangan, kata “kedaulatan pangan” muncul sebanyak delapan kali dalam batang tubuh, dan tiga kali dalam Bagian Penjelasan. Pada batang tubuh muncul pada pasal 2, 3, 6, 23 (1), 117, 125, 126, dan 130 (1). 
Dari keseluruhan kalimat dalam UU ini, kata “kedaulatan pangan” selalu muncul bersama-sama dengan “ketahanan pangan” dan “kemandirian pangan”. Ketiganya selalu muncul bersamaan, atau tidak pernah sendirian. Kata “kedaulatan pangan” berada di depan, lalu diikuti dua yang lainnya. Hal ini bisa dimaknai bahwa kedaulatan pangan merupakan hal yang harus dicapai terlebih dahulu, sebagai jalan untuk mencapai tujuan akhirnya yakni “ketahanan pangan”.
Meskipun dalam Pasal 1 ketiga konsep ini telah dijelaskan dan dibedakan satu sama lain, namun sesungguhnya tidak ada ditemui penjelasan yang memadai bagaimana misalnya cara mencapai kedaulatan pangan, dan apa bedanya dengan upaya mencapai ketahanan pangan. Juga tidak ada kejelasan bagaimana mencapai kemandirian pangan. Namun demikian, hal ini juga bisa dimaknai bahwa “kedaulatan pangan” merupakan sebuah konsep yang masih terbuka untuk dirumuskan dan diisi oleh semua pihak. Dapat dilihat bahwa apa dan bagaimana kedaulatan pangan belum terlalu jelas. Apalagi indikator bagaimana mengukur kedaulatan pangan. Jika hanya bertolak dari UU ini, maka kita tidak akan dapat merumuskan jalan bagaimana cara mencapai kedaulatan pangan.

ii Dua, 
Dokumen “Nawacita” yang dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam visi, misi dan program aksi yang berjudul “Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri Dan Berkepribadian” pada periode Mei  2014 saat kampanye pemilihan presiden. “Nawacita” bermakna sebagai sembilan agenda perubahan. Kedaulatan pangan tercantum secara jelas pada agenda nomor 7 (”Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi Domestik”). Dalam cita nomor 7 ini ada lima program yaitu: 
(1) Membangun kedaulatan pangan, 
(2) Membangun  kedaulatan energi, 
(3) Membangun  kedaulatan keuangan, 
(4) Mendirikan bank petani/nelayan dan UMKM termasuk gudang dengan fasilitas pengolahan paska panen di setiap sentra produksi tani/nelayan, dan 
(5) Mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional (Anonimous, 2014)
Khusus untuk membangun kedaulatan pangan disebutkan akan digunakan lima pendekatan sebagai berikut, yaitu (Anonimous, 2014): 
Satu, 
membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan, yang terdiri atas empat bentuk yaitu: penyusunan kebijakan pengendalian atas import pangan, penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani, implementasi reforma  agraria, dan pembangunan agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank khusus untuk  pertanian, UMKM dan koperasi.
Dua, 
stop impor pangan khusus untuk beras, jagung dan daging sapi. Untuk jagung disebutkan ada tiga program yaitu: 
(a) peningkatan produktivitas dari 4,8 ton/ha menjadi 5,6 ton/ha, 
(b) pengembangan bank benih milik rakyat tani untuk daulat benih, dan 
(c) pengembangan pupuk organik untuk daulat pupuk. Sementara untuk sapi adalah membangun agroekologi dan peningkatan kapasitas peternakan rakyat. 
Tiga, 
stop impor pangan khusus untuk komoditas kedelai, bawang merah dan cabe merah. Terbaca dengan jelas bahwa khusus untuk kedelai ada 3 pilihan kebijakan yaitu: 
(a) peningkatan produksi dari 1, 46  ton /ha menjadi 2,3 ton/ha, 
(b) pemerintah menjamin harga yang menguntungkan untuk petani, dan 
(c)  mendorong pengembangan bank benih kedelai di tiap kelompok tani. Sedangkan untuk bawang merah ada 2 hal yaitu: pemerintah menjamin produksi benih lokal, dan mendorong peningkatan produksi dari 10,1 menjadi 11 ton / ha. Khusus untuk cabai merah juga ada dua hal yaitu: peningkatan produktifitas cabe sebsar rata-rata 0,078 ton/ ha yakni dari 6,84 ton/ha menjadi 6,918 ton/ha), dan pemerintah menjamin harga yang menguntungkan untuk petani cabai
Empat, 
reforma agraria, dimana solusi untuk reforma agraria terdiri atas 3 program yaitu: 
(a) peningkatan redistribusi tanah 1,1 juta ha untuk 1 juta KK petani kecil dan buruh tani tiap tahun, 
(b) distribusi 9 juta ha tanah untuk petani dan buruh tani, dan 
(c) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian.
Lima, penanggulangan kemiskinan pertanian dan regenerasi petani, berupa 4 solusi yaitu: 
(a) 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019, 
(b) peningkatan kemampuan organisasi petani dan pelibatan aktif perempuan petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, 
(c) rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak pada 3 juta ha pertanian, dan 
(d) dukungan regenerasi petani muda Indonesia.
Terlihat dengan jelas, bahwa point-point penting dalam dokumen Nawacita menguraikan konsep dan strategi kedaulatan pangan sebagaimana pemikiran yang berkembang di level internasional. Point pokoknya adalah pemberian akses dan kontrol yang besar kepada petani yang selama ini kurang diperhatikan, yaitu pemberian akses dan kontrol terhadap lahan pertanian melalui peningkatan hak penguasaan lahan melalui reforma agraria, dan peningkatan akses dan kontrol kepada benih dengan membangun desa-desa mandiri benih. 
Kedaulatan pangan dicapai melalui 5 usaha yaitu: peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan, mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan, dan perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
Selengkapnya disebutkan bahwa peningkatan produksi pangan pokok dicapai melalui 15 kegiatan. Di antaranya yang berkenaan dengan kedaulatan pangan adalah: pengembangan 1000 Desa Mandiri Benih, pemulihan kualitas kesuburan lahan yang airnya tercemar, pengembangan 1000 desa pertanian organik, pencipataan sistem inovasi nasional, perluasan lahan kering 1 juta ha, pendirian unit perbankan untuk pertanian, peningkatan kemampuan petani dan organisasi petani, pelibatan perempuan petani/pekerja, pencipataan daya tarik pertanian bagi TK muda, serta rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi rusak dan bendungan (Anonimous, 2014).
Sementara, stabilisasi harga bahan pangan dicapai melalui Penyediaan kapal pengangkut ternak dan Pemberantasan “mafia” impor. Sedangkan peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan melalui: 
(a) peningkatan akses dan aset petani melalui distribusi hak atas tanah petani dan land reform dan program penguasaan lahan terutama bagi petani gurem dan buruh tani, dan 
(b) sertifikasi hak atas tanah nelayan dalam upaya peningkatan akses permodalan untuk pengembangan usaha Lebih jauh pada Arah Kebijakan dan Strategi, pada point no 5.

“Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan” dicapai melalui: (a)  Perlindungan petani melalui penyediaan dan penyempurnaan sistem penyaluran subsidi input, pengamanan harga produk hasil pertanian di tingkat petani dan pengurangan beban resiko usaha tani; 
(b) Pemberdayaan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam melalui pendataan usaha petani, peningkatan keterampilan, dan akses terhadap sumber-sumber permodalan, dan 
(c)  Peningkatan akses dan aset petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam terhadap lahan melalui distribusi hak atas tanah petani dengan land reform dan program penguasaan lahan untuk pertanian terutama bagi petani gurem dan buruh tani (Anonimous, 2014).
Apa yang berkembang di Indonesia ini juga dicatat oleh Lassa dan Shrestha (2014), yang  mengutip ucapan Presiden Jokowi bahwa: "Ketahanan pangan merupakan sesuatu yang berbeda dari kedaulatan pangan. Ketahanan pangan hanya ketersediaan bahan pangan (logistik) di gudang dan di pasar terlepas dari asal apakah dari impor atau dari yang diproduksi secara lokal. Kedaulatan pangan berarti bahwa kita memproduksi dan memasarkan bahan makanan kita sendiri, sementara surplus produksi diekspor”. Disini terlihat bahwa kedaulatan pangan bermakna lebih dalam dibanding ketahanan pangan.

iii. Tiga, 
Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Dalam dokumen ini khususnya bab Perkuatan Kedaulatan Pangan (Bapenas, 2014), kedaulatan pangan memuat strategi komponen Nawacita dengan optimal. Pada bagian Kebijakan Nasional Kedaulatan Pangan, disebutkan bahwa sasaran pembangunan berupa peningkatan produksi komoditas utama. Dalam lima tahun ke depan, produksi padi akan diarahkan untuk meningkatkan surplus produksi beras, jagung difokuskan untuk keragaman pangan dan pakan lokal, dan kedelai difokuskan untuk mengamankan kebutuhan pengrajin dan kebutuhan konsumsi tahu dan tempe. Selanjutnya, untuk gula, daging sapi, dan garam fokus pada pemenuhan konsumsi rumah tangga masyarakat.

iv Empat, 
Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015 - 2045 berupa Pertanian – Bioindustri Berkelanjutan (Kementan, 2014). Dalam bagian sasaran pembangunan disebutkan target untuk “Terwujudnya kemandirian pangan nasional paling lambat pada 2020, kedaulatan pangan nasional paling lambat pada 2025 dan kedaulatan pangan komunitas paling lambat pada 2045” (no 4).
Secara umum, makna kedaulatan pangan dalam dokumen ini relatif sejalan dengan istilah ketahanan pangan, misalnya terlihat dari kalimat ini: “Ciri utama perwujudan pertanian mandiri adalah adanya kemandirian dan kedaulatan pangan. Negara dan bangsa yang mandiri pangan adalah negara dan bangsa yang mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup melalui pemanfaatan potensi sumber daya alam, insani, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Petani yang mandiri juga dicirikan oleh kemampuan untuk bertumbuh kembang dengan berlandaskan pada kemampuan swadaya petani sendiri” (hal 51). Demikian pula pada halaman  94 yang tertulis bahwa: “.... dikembangkan industri biorefinery primer utamanya yang menghasilkan karbohidrat yang sangat diperlukan untuk mensubstitusi produk-produk impor dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan”.
Secara lebih lengkap, pada hal 138 tercantum Tabel 12 Sosok Usahatani, Petani, dan Status Kedaulatan Pangan 2010-2045. Disini kedaulatan pangan merupakan gambaran akhir yang akan dicapai, yang dimulai dengan kondisi tercapainya ketahanan pangan. Hal ini tampak pada baris ketiga yakni “Status Ketahanan-Kedaulatan pangan”.  Isi pada baris ini adalah gambaran yang akan dicapai mulai dari 2015 sampai 2045 berupa target-target per 5 tahun. Sampai tahun 2010 yang mau dicapai adalah “Ketahanan Pangan”, lalu berturut-turut setiap 5 tahun ke depan adalah tercapainya “Kemandirian Pangan Nasional”, diikuti “Kemandirian Pangan Nasional menuju kedaulatan pangan nasional”, dilanjutkan lagi dengan “Kedaulatan Pangan Nasional”, lalu “Kedaulatan Pangan Nasional menuju Ketahanan pangan komunitas”, lalu “Kedaulatan Pangan Nasional menuju ketahanan pangan komunitas”, berikutnya lagi “Tahap awal Ketahanan Pangan komunitas” pada 5 tahun berikutnya, dan terakhir pada periode 2041-2045 adalah tercapainya “Ketahahan Pangan Komunitas”. Kondisi akhir ini merupakan apa yang disebut dengan gambaran pertanian yang mandiri, maju, adil dan makmur. Hal ini diperkuat dengan deskripsi pada baris indikator “Ketahanan pangan” dimana status pada periode yang akan dicapai pada 2021-2025 misalnya adalah mencapai “Pengembangan pertanian menjadi basis Kedaulatan pangan nasional menuju ketahanan pangan komunitas untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan bangsa”.

v Lima, 
Rencana kerja Kementerian Pertanian. Dalam dokumen Kebijakan Dan Program Pembangunan Pertanian 2015-2019, yang disampaikan pada Musrenbangtan 2014, Jakara 13 Mei 2014 (Kementan, 2014). Ada belasan entry ketahanan pangan, namun tidak ada untuk kata “kemandirian pangan” dan “kedauatan pangan”. Disebutkan bahwa sasaran strategis pembangunan pertanian 2015-2019 adalah meningkatnya ketahanan pangan dengan penyediaan bahan pangan pokok (no. 1), dan meningkatnya kesejahteraan petani (no. 4), serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani.
Selanjutnya, untuk rencana kerja tahunan yakni Rencana Kerja Kementan 2014 (Kementan, 2013) ada belasan entry tentang ketahanan pangan, dua  entry kemandirian pangan, namun tidak memasukkan sama sekali “kedaulatan pangan”. Hal ini dapat dimaknai bahwa “kedaulatan pangan” belum mendapat perhatian dan juga belum memiliki pemaknaan yang jelas.
Namun, kondisi yang sangat berbeda ditemui pada dokumen Rencana Kerja Kementerian Pertanian 2016, khususnya matrik Kebijakan Kedaulatan Pangan 2015-2019 (Nawacita). Berbagai program yang akan dijalankan pemerintah adalah perluasan 1 juta ha lahan sawah baru, perluasan pertanian lahan kering 1 juta Ha di luar Jawa, perbaikan/pembangunan irigasi untuk 3 juta ha lahan sawah, pengendalian konversi lahan, pemulihan kesuburan lahan yang airnya tercemar, 1000 desa mandiri benih, pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen di tiap sentra produksi, Bank pertanian dan UMKM, peningkatan kemampuan petani, pengendalian impor pangan, reforma agraria 9 juta Ha, 1000 Desa pertanian organik, terbangunnya 100 Techno Park dan 34 Science Park, serta pemanfaatan lahan bekas pertambangan (Anonimous, 2014).
Khusus untuk tahun 2016 saja, yakni pada bagian Sasaran Kedaulatan Pangan 2016 (Nawacita), disampaikan hal yang sama persis namun dengan target rata-rata sebesar seperlima dari target jangka menengah. Pencapaian kedaulatan pangan adalah berupa kegiatan Upsus yang mencakup UPSUS Peningkatan Produksi dan Produktivitas 6 komoditas (padi, jagung, kedelai, tebu, daging, cabai dan bawang), serta Penyediaan Bahan Baku Bioindustri dan Bioenergi dan Kegiatan Agro Science Park (ASP) dan Agro Techno Park (ATP). Pada bagian matrik program ada Model Sekolah Lapang (SL) Kedaulatan Pangan Terintegrasi Desa Mandiri Benih
Seluruh dokumen yang diacu merupakan dokumen yang disusun setelah keluarnya UU Pangan yakni setelah tahun 2012. Dengan kata lain, seluruh penyusunnya tentu telah membaca apa makna kedaulatan pangan dalam UU ini. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa telah berkembang berbagai variasi pemahaman tentang apa itu kedaulatan pangan. Penyebabnya diduga karena kurang tegasnya pembatasan di dalam UU Pangan.
Setidaknya terlihat tiga pola yang terbentuk, yaitu: pertama, yang menganggap bahwa kedaulatan pangan sejalan dengan ketahanan pangan. Makna berdaulat adalah ketika kebijakan pangan kita tidak dikendalikan oleh negara lain dalam konteks politik dan pasar. Pemahaman ini muncul pada Rencana Kerja Kementan, RJPMN, dan pada SIPP. Kedua, ketahanan pangan merupakan landasan untuk mencapai kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sejati adalah saat sudah tercapai di level komunitas. Hal ini terlihat jelas dalam dokumen SIPP. Ketiga, pemahaman kedaulatan yang sejalan dengan di dunia internasional, sebagaimana dijumpai dalam dokumen Nawacita. Namun, meskipun RPJMN dan RKP Kementan merupakan turunan dari kebijakan ini, namun kedaulatan pangan dipahami berbeda.

USULAN KONSEP KEDAULATAN PANGAN YANG SESUAI UNTUK INDONESIA
Berikut disampaikan rumusan konsep kedaulatan pangan yang disusun dari pemikiran yang berkembang tentang topik ini di dunia internasional dipadukan dengan pemikiran yang berkembang di dalam negeri.
Kedaulatan Pangan Bertujuan Memperkuat Akses dan Kontrol Petani terhadap Sumber daya Pertanian
Ide dasar kedaulatan pangan adalah mengangkat kesejahteraan petani kecil yang selama ini masih terpinggirkan. Pendekatan kedaulatan pangan lebih menghargai budaya lokal, sehingga petani dapat menanam varietas sendiri yang disukainya, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri karena menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan mendukung sepenuhnya pola-pola pertanian yang berbasis keluarga, dimana mereka menanam sendiri dan memakan sendiri dari lahannya (land to mouth).

Ada empat area prioritas atau pilar dalam kedaulatan pangan, yaitu hak terhadap pangan, akses terhadap sumber-sumber daya produktif, pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production), serta perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006). Bagaimanapun, kedaulatan pangan memang terkait dengan perjuangan politik (Windfuhr dan Jonsen, 2005; Lee, 2007). Kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi sendiri. Maka, reforma agraria menjadi hal yang sangat penting. Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak meniadakan perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi. Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut.

Menurut Urban Agriculture Australia (2014), kedaulatan pangan adalah hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri. Kedaulatan pangan menempatkan petani sebagai pusat perhatiannya. 
Lebih jauh disebutkan bahwa ada enam pilar kedaulatan pangan, yaitu: 
(a) perhatian kepada pangan untuk masyarakat (focuses on food for people), 
(b) menghargai petani sebagai produsen (values food providers), 
(c) mewujudkan sistem pangan lokal (localises food systems), 
(d) kontrol ada pada komunitas (puts control locally), (e) membangun pengetahuan dan keterampilan (builds knowledge and skills), dan (f) bertani ramah lingkungan (works with nature).
Dari deklarasi Forum for Food Sovereignty, Nyéléni di Mali tahun  2007, dirumuskan sembilan prinsip kedaulatan pangan.  Beberapa di antaranya adalah (Patel, 2009): perhatian kepada perempuan, konservasi dan rehabilitasi lingkungan, serta perhatian kepada petani kecil, dan kultur mereka. Termasuk mengakui dan menghormati keragaman pengetahuan tradisional, nilai-nilai petani, makanan, bahasa dan juga budaya, serta mempertahankan dan penguatan kemampuan petani untuk membuat keputusan tentang pemenuhan kebutuhan mereka terhadap materi, warisan alam dan spiritual. Pada hakekatnya, tujuan hakiki kedaulatan pangan  adalah meningkatkan kualitas kehidupan petani.
Sementara, dari La Via Campesina (Beauregard dan Gottlieb, 2009), disebutkan tujuh prinsip kedaulatan pangan yaitu: 
(a) makanan adalah hak dasar tiap manusia, tidak semata-mata menjadi barang dagangan belaka, 
(b) menerapkan pendekatan reforma agraria, 
(c) perlindungan pada sumber daya alam, atau penggunaan sda secara bertanggung jawab, 
(d) penataan pasar pangan, 
(e) akhiri kelaparan global, 
(f) kedamaian sosial (social peace), dan 
(g) kontrol pada demokrasi (democratic control).
Kedaulatan Pangan sebagai Strategi Untuk Melengkapi Ketahanan Pangan
Saat ini food sovereignity diindonesiakan menjadi “kedaulatan pangan”, namun lebih tepat jika diterjemahkan menjadi “kedaulatan petani atas pangan”. Dengan pengertian ini, esensi nya adalah pada petaninya, bukan pada pangannya.  Hal ini sejalan dengan Glopolis (2013), dimana ketahanan pangan berkenaan dengan tujuan (setting the goal) sedangkan kedaulatan pangan adalah jalan mencapainya (defining the way to realize it). Menurut Clapp (2014),  kedua konsep ini terpisah,  ketahanan pangan tentang kondisi akses kepada pangan, sedangkan kedaulatan pangan terhadap ketidakcukupan akses kepada pangan dan hak penguasaaan lahan.

Namun demikian, objek kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya. Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agro-ekologis, pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal, serta penekanan pada wacana lingkungan green rationalism. 
Setidaknya ada dua kesamaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. 
Pertama, 
keduanya berbicara soal yang sama yakni pangan. Namun, keduanya saling melengkapi, karena batu pijak kedua konsep ini tidaklah sama. Ketahanan pangan lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan bagi rakyat sebagai tujuan akhir dari pembangunan pangan, sedangkan kedaulatan pangan lebih menitikberatkan kemandirian pangan, perlindungan kepada petani dan ekosistem lokal. Kebijakan ketahanan pangan fokus kepada sisi pangannya, sedangkan kebijakan kedaulatan pangan memperhatikan metoda dan strategi untuk mencapainya dengan memperhatikan baik pangan maupun manusianya.
Kedua, 
kedua konsep sama-sama memiliki dimensi global. Saat ini konsep ketahanan pangan sedang dipakai baik di negara maju maupun berkembang, sementara konsep kedaulatan pangan berupaya memberikan koreksi kepadanya. Kedaulatan pangan berupaya menjadikan konsep ini sebagai strategi utama untuk menuju pengakuan hak-hak petani  baik di level pemerintahan maupun lembaga internasional.

Dalam UU Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai  “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan” (Pasal 1). Penyediaan pangan dalam negeri yang pada hakekatnya dalam rangka  kedaulatan pangan, dilakukan  melalui  pengembangan produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal  (Pasal 12). Lalu pada Apasl 42 dan 43 disebutkan bahwa  peningkatan ketahanan pangan juga dapat diwujudkan dengan  penganekaragaman pangan yang berbasis potensi sumber daya lokal.   Ketahanan pangan juga berkaitan dengan  ancaman produksi pangan (Pasal 22) sehingga membutuhkan cadangan pangan (Pasal 44 dan 45).
Konsep ketahanan pangan oleh sebagian ekonom dianggap konsep teknis (Maxwell and Smith, 1992) dengan berbagai kepentingan politis di baliknya. Liberalisasi perdagangan pertanian internasional berlangsung sejak Putaran Uruguay (1986-1994) dan pada saat yang sama terbentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Deputi Dirjen WTO menekankan strategi ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO (WTO, 2002). Dampak perdagangan internasional, dimana 70 persen negara berkembang menjadi tergantung pada impor pangan (Santosa, 2009).
Secara historik, dengan melihat kembali berbagai pemikiran, event dan kesepakatan-kesepakatan yang diacu di atas, tampak bahwa pada hakekatnya “kedaulatan pangan” merupakan pendekatan untuk melengkapi ketidaksempurnaan “ketahanan pangan” yang lebih kental pada aspek teknis (Windfuhr dan Jansen, 2005; Lee, 2008). Konsep kedaulatan pangan lebih menitikberatkan kemandirian pangan, perlindungan kepada petani dan ekosistem lokal. Jika ketahanan pangan lebih fokus kepada sisi pangannya saja, sedangkan kedaulatan memperhatikan keduanya, baik pangan maupun manusianya.
Sebagian pihak menilai bahwa konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan berlawanan, namun pihak lain melihat sesungguhnya kedua konsep ini bisa seiring sejalan. Kedaulatan pangan tidak dilihat sebagai konsep tandingan (rivalry concept), tapi sebagai pelengkap dari konsep ketahanan pangan.  Jadi, sesungguhnya kedaulatan pangan dapat diintegrasikan ke dalam konsep ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan adalah tujuan, kedaulatan pangan adalah prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana  Menezes (2001), akses setiap individu terhadap pangan yang berkualitas, yang merupakan intisari konsep ketahanan, haruslah didorong dengan upaya-upaya yang menjamin akses petani terhadap input pertanian dan perlindungan terhadap sektor pertanian domestik yang memadai demi terwujudnya kemandirian pangan.
Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai kerangka politis dan humanis untuk menerapkan ketahanan pangan yang lebih bernuansa teknis. Kedaulatan pangan tidak menggantikan, namun menjadi pelengkap atau pendukung untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati. Kedaulatan pangan berupaya menjamin dan mewujudkan tercapainya ketahanan pangan (ensures food security by placing the environment and people who produce, process and consume the food at the centre of food systems).

Rumusan Konsep Kedaulatan Pangan Untuk Indonesia
Rumusan berikut merupakan hasil dari integrasi berbagai konsep yang berkembang. Sebagaimana dalam UU Pangan, kedaulatan pangan perlu diurumuskan atas dua level yang berbeda. Hal ini sejalan pula dengan definisi yang paling sering diacu tentang kedaulatan pangan yaitu: “Kedaulatan Pangan adalah Hak masyarakat, komunitas, dan negara-negara untuk defi ne kebijakan pertanian, tenaga kerja, fi shing, makanan dan tanah mereka sendiri, yang secara ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan keadaan mereka yang unik. Ini mencakup benar hak atas pangan dan untuk memproduksi makanan, yang berarti bahwa semua orang memiliki hak untuk aman, bergizi dan sesuai dengan budaya makanan dan sumber makanan memproduksi dan kemampuan untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan masyarakat mereka. " (Glipo and Pascual Jr., 2005).
Pertama, pada level negara. Sebagaimana menurut Beuchelt and  Virchow (2012), kedaulatan pangan berkaitan kepada hak komunitas, masyarakat, dan negara yang secara bebas menetapkan kebijakan pangan mereka, dengan penekanan kepada hak pangan yang cukup (right to adequate food) sebagai payung kebijakan nasional, bahkan internasional. Di level nasional, pendekatan kedaulatan pangan mesti sejalan dengan program agribisnis.  Negara dengan garis kebijakan yang jelas tentang kedaulatan pangan akan mampu menahan tekanan korporasi global (Nettle, 2010). Lebih jauh, tentang pendekatan yang bisa dipakai, menurut Hospes (2014) dapat menggunakan pendekatan negara-sentris atau pada pendekatan yang pluralistic.
Laporan Giunta (2014) dengan kasus Ekuador mendapatkan bahwa kedaulatan pangan telah dipandang sebagai tujuan strategis dan menjadi kewajiban pemerintah, dimana kedaulatan pangan telah menjadi tujuan kolektif, dan telah berbasiskan konstitusi yang kuat. Agar negara dapat menerima konsep ini, sebagaimana kasus di korea Selatan (Burmeister and  Choi, 2012) dibutuhkan perjuangan jaringan organisasi petani Korea Selatan terutama Liga Petani Korea (Korean Peasant League) dan Korea Asosiasi Petani Perempuan (Korean Women Peasants Association) yang telah berhasil menempatkan isu kedaulatan pangan pada kerangka kebijakan pangan nasional.
Kedua, pada level rumah tangga. Dalam UU Pangan, khususnya pada lingkup mikro petani dan rumahtangga, peran petani dalam memperkuat kedaulatan pangan  tertuang  dalam  pasal 130 yang dapat dilakukan dalam tahapan  produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi Pangan, serta cadangan pangan. Hal ini sejalan dengan Kerr (2013),  dimana kedaulatan pangan adalah peluang bagi petani untuk mengontrol pangan mereka sendiri.
Pada level rumah tangga, kedaulatan pangan berkenaan dengan bagaimana petani memiliki kedaulatan terhadap berbagai sumberdaya untuk menjalankan pertanian dan kehidupannya dengan sejahtera dan bermartabat. Secara ringkas, maka kedaulatan pangan dapat diukur dari bagaimana kedaulatan petani terhadap lahan, air, benih, pupuk dan obat-obatan, sistem usaha pertanian  (teknologi), hasil produksi, serta kedaulatan dalam mengkonsumsi.

Tabel 1. Deskripsi konsep dan pendekatan kedaulatan pangan serta sumber hukumnya

Kedaulatan terhadap
1.      Lahan usaha
Petani berusaha di atas lahannya miliknya sendiri, sehingga hasil produksi mencukupi untuk kesejahteraan keluarganya.

2.      Sumber daya air untuk pertanian
Petani dan komunitas petani diberikan alokasi air irigasi yang cukup untuk kebutuhan usahataninya secara teknis.

3.      Benih dan bibit
Petani dan komunitas petani menanam benih/bibit yang mereka inginkan dan merupakan produksi mereka sendiri dan tidak bergantung kepada pasar.

4.      Pupuk dan obat-obatan
Petani terjamin kebutuhan pupuk dan obat-obatan sesuai dengan siklus usahanya.

5.      Sistem pertanian
Petani diberikan keleluasaan untuk menentukan cara bertani yang sesuai dengan teknis dan sosiokultur nya. UU Pangan pasal 1 dan 130, Peasant Charter, definisi internasional
6.      Hasil produksi
Petani memiliki kuasa atas hasil produksinya sendiri, dan baru akan tercapai optimal bila mereka bukan petani penggarap dan juga tidak terikat hutang dengan pedagang.
7.      Pangan konsumsi dan pilihan mengkonsumsi
Petani dapat mengkonsumsi pangan sesuai dengan preferensi dan kebiasaan sosiokultur mereka sendiri. UU Pangan pasal 3, Nawacita, definisi internasional

Ketujuh 
aspek kedaulatan pangan dalam tabel di atas merupakan rangkuman dari keseluruhan  pemikiran yang berkembang berkenaan dengan kedaulatan pangan, baik pemikiran di dunia internasional (NGO dan FAO), UU Pangan, dan juga Nawacita.   Indikator kedaulatan pangan menurut UNPFII (2010) merupakan sebuah kondisi yang dapat dinilai statusnya.  Dengan mendasarkan kepada ketujuh aspek di atas, maka kedaulatan pangan dapat diukur, dipetakan, juga dapat dirumuskan jalan untuk mencapainya dengan lebih jelas.
Dapat ditambahkan, bahwa UU No 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Petani mendukung pencapaian kedaulatan pangan. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa: “Petani sebagai pelaku pembangunan pertanian perlu diberi perlindungan dan pemberdayaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar setiap orang guna mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan”.
Kegiatan pembangunan dalam konteks kedaulatan pangan telah mulai berjalan di berbagai wilayah dunia. Di Republik Cechnya misalnya, ada upaya membantu masyarakat lokal dalam pemasaran dengan mempromosikan produk pertanian biologis, produk lokal dan penjualan langsung ke konsumen (Glopolis, 2013). Hal sama juga berlangsung di wilayah Eropah, yang sejak lama peduli kepada pertanian ekologis, dimana salah satu cirinya adalah bagaimana mendekatkan jarak dari produsen ke konsumen (Vaarst and González‐García, 2012)
Inti kedaulatan pangan ada pada petani, dengan memberi perhatian dan memperkuat hak masyarakat secara bebas memutuskan pertanian dan kebijakan pangan untuk memerangi kelaparan dan kemiskinan (Glipo and Pascual, 2005). Selain petani berhak memilih jenis tanamannya sendiri, juga hak kepada pangan yang sehat dan bergizi sesuai dengan preferensi budaya mereka,  secara kualitas dan kuantitas yang cukup untuk mempertahankan hidup sehat dengan martabat. Lebih jauh, sesungguhnya kedaulatan pangan juga berkenaan dengan perdagangan, sumber daya alam, menghargai pengetahuan lokal, juga memperhatikan gender dan kelas (Wittman, 2012), serta dalam berorganisasi (Bourgeois et al., 2003).
Indonesia masih memiliki banyak agenda tentang kedaulatan pangan, terutama masalah reforma agararia. Hanya kedaulatan pangan yang berbasiskan pada reforma agraria (genuine agrarian reform)  sebagai bekal menghadapi multi krisis ke depan. “Kedaulatan pangan adalah satu-satunya cara untuk secara efektif melindungi ekonomi pangan nasional dari tekanan ekternal berupa dumping, penimbunan, dan spekulasi” (Rosset, 2011). Menurut Edelman et al. (2014), kedaulatan pangan merupakan terobosan dalam kebijakan pangan secara keseluruhan, karena akan lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan melambangkan segala macam gerakan pembebasan dari penindasan, karena kedaulatan pangan berdasarkan kepada saling ketergantungan dan penghargaan terhadap lingkungan hidup (Flora, 2011).
Namun, agar upaya ini berhasil maka petani diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan pembangunan dalam suasana yang demokraris. Petani kecil harus memiliki pengaruh langsung pada merumuskan kebijakan pertanian, dan setiap orang memiliki hak atas informasi yang jujur dan akurat dan akses untuk membuka pengambilan keputusan yang demokratis) (Vaarst and González‐García, 2012).

KESIMPULAN
Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai strategi pokok untuk mencapai tujuan pembangunan pangan nasional yakni ketahanan pangan. Kedaulatan pangan tidak menggantikan, namun menjadi pelengkap atau pendukung bahkan menjadi basis untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati. Dengan mengimplementasikan spirit kedaulatan pangan, maka ketahanan pangan di Indonesia akan lebih mampu dicapai secara kokoh dan berkeadilan.
Uraian dari berbagai referensi di atas juga menunjukkan kesejajaran yang kuat antara konsep kedaulatan pangan di level internasional, dengan UU Pangan, dan dokumen Nawacita. Dengan kata lain, kedaulatan pangan yang diusung oleh pasangan Presiden dan Wapres sangat sejalan dengan konsep “food sovereignity” yang saat ini berkembang pada kalangan peneliti dan pemberdaya petani, bahkan FAO di level internasional.
Konsep ketahanan pangan meskipun telah hampir 20 tahun ini kita gunakan tidak tertutup kemungkinan untuk disempurnakan dengan menerima berbagai ide lain yang lebih baik. Penggantian atau penyempurnaan konsep merupakan hal yang biasa dalam pembangunan dan wacana ilmiah pembangunan pedesaaan, sebagaimana misalnya munculnya konsep pemberdayaan dan people centered development yang merupakan antitesis terhadap konsep pembangunan yang dinilai terlalu searah.
Sebagaimana sudah mulai dikembangkan di berbagai negara dan di lembaga internasional, kedaulatan pangan sesungguhnya bisa diukur atas berbagai level yakni pada level individual, komunitas, wilayah regional dan nasional. Untuk Indonesia, indikator pengukuran kedaulatan pangan juga harus dirumuskan dengan tegas, sehingga perencanaan pembangunan pangan lebih terarah dan tingkat keberhasilannya juga bisa diukur dengan mudah.

Daftar Pustaka
Anonimous. 2014. Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri Dan Berkpribadian: Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi dan Jusuf Kalla 2014. Mei 2014. http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf (3 Maret 2015)
Bapenas. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Beauregard, Sadie and Robert Gottlieb. 2009. Food Policy for People: Incorporating food sovereignty principles into State governance: Case studies of Venezuela, Mali, Ecuador, and Bolivia. April 2009. Urban and Environmental Policy. http://ieham.org/html/docs/Incorporating%20food%20sovereignty%20principles%20into%20State%20governance.pdf
Beuchelt, Tina D. and  Detlef Virchow. 2012. Food sovereignty or the human right to adequate food: which concept serves better as international development policy for global hunger and poverty reduction? Agric Hum Values (2012) 29:259–273. DOI 10.1007/s10460-012-9355-0.
Bourgeois, R; F. Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).
Burmeister, Larry L. And  Yong-Ju Choi. 2012. Food sovereignty movement activism in South Korea: national policy impacts? Agric Hum Values (2012) 29:247–258. DOI 10.1007/s10460-011-9335-9.
Clapp, Jennifer. 2014. Food security and food sovereignty: Getting past the binary. Dialogues in Human Geography 2014, Vol. 4(2) 206–211. DOI: 10.1177/2043820614537159.
Edelman, Marc; Tony Weis; Amita Baviskar; Saturnino M. Borras Jr; Eric Holt-Giménez; Deniz Kandiyoti; and Wendy Wolford. 2014. Introduction: Critical Perspectives On Food Sovereignty, The Journal Of Peasant Studies, 41:6, 911-931, DOI: 10.1080/03066150.2014.963568
FAO. 2005. Voluntary Guidelines To Support The Progressive Realization Of The Right To Adequate Food In The Context Of National Food Security. Adopted by the 127th Session of the FAO Council November 2004. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome, 2005
FAO. 2006. The State Of Food And Agriculture 2006: Food Aid For Food Security? Food And Agriculture Organization Of The United Nations,
Rome. Http://Www.Fao.Org/Docrep/009/A0800e/A0800e00.HTM (6 Maret 2015)
Flora, Cornelia Butler. 2010. Schanbacer, William D: The Politics of Food: The Global Conflict Between Food Security and Food Sovereignty.
Giunta, Isabella. 2014. Food sovereignty in Ecuador: peasant struggles and the challenge of institutionalization. The Journal of Peasant Studies, 41:6, 1201-1224, DOI: 10.1080/03066150.2014.938057
Global Politics. 2012. Food Security vs. Food Sovereignty. November 30, 2012.
https://globalfoodpolitics.wordpress.com/2012/11/30/food-security-vs-food-sovereignty/

Glipo, Arze and Francisco G. Pascual Jr. 2005. Food Sovereignty Framework: Concept and Historical Context. Food Sovereignty Framework, December 2005. http://www.nyeleni.org/IMG/pdf/FoodSovereignityFramework.pdf
Glopolis. 2013. Food Sovereignty As A Way To Achieve Food Security: Small Steps In The Czech Republic Towards Sustainable Agricultural Production And Consumption. http://glopolis.org/en/articles/food-sovereignty-way-achieve-food-security/
Hospes, Otto. 2014. Food sovereignty: the debate, the deadlock, and a suggested detour. Agric Hum Values (2014) 31:119–130. DOI 10.1007/s10460-013-9449-3.
IPC (International Planning Committee). 2006. International Planning Committee for Food Sovereignty. 2006. IPC Focal Points, http://www.foodsovereignty.org/new/focalpoints.php  (6 Maret 2015).
Kementan. 2013. Rencana Kerja Kementerian Pertanian 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.  
Kementan. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015 – 2045: Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan Kementerian Pertanian 2014 Pertanian – Bioindustri Berkelanjutan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementan. 2015. Rencana Kerja Kementerian Pertanian 2016. Disampaikan pada Pra-Musrenbangtannas 2015, Jakarta 12 Mei 2015. Kementerian Pertanian, Jakarta.   
Kerr, Rachel Bezner. 2013. Seed Struggles And Food Sovereignty In Northern Malawi. The Journal of Peasant Studies, 40:5, 867-897. DOI: 10.1080/03066150.2013.848428.
Lassa, Jonatan A. and Maxim Shrestha. 2014.  Food Sovereignty Discourse in Southeast Asia: Helpful or Disruptive?  Food Sovereignty Discourse in Southeast Asia: Helpful or Disruptive?  Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technologicla University. Singapore.  www.rsis.edu.sg
Lee, Richard. 2007. Food Security and Food Sovereignty. Centre for Rural Economy Discussion Paper Series No. 11. March 2007. http://www.ncl.ac.uk/cre/publish/discussionpapers/pdfs/dp11%20Lee.pdf
Maxwell, S. and M. Smith. 1992. Household Food Security; A Conceptual Review. Dalam: S.Maxwell and TR Frankenberger, eds. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements: A Technical Review. New York and Rome: UNICEF and IFAD, (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO hal 25)
Menezes, Francisco. 2001. Food Sovereignty: A Vital requirement for Food Security in the Context of Globalization. Development, 44(4), 29-33. http://dx.doi.org/10.1057/palgrave.development.1110288
Nettle, Claire. 2010. Hannah Wittman, Annette Aure´lie Desmarais, Nettie Wiebe (eds): Food sovereignty: reconnecting food, nature and community. Fernwood Publishing, Hallifax and Winnipeg, Canada, 2010, 212 pp, ISBN 978-0-55266-374-5 (paperback) 978-1-55266-390-5 (hardback). Agric Hum Values (2013) 30:313–314. DOI 10.1007/s10460-013-9441-y
Patel, Raj (ed). 2009. Food Sovereignty. Journal of Peasant Studies 36:3, page 663-706. DOI: 10.1080/03066150903143079. Published online: 30 Oct 2009. (6 Maret 2015)
Praeger, Santa Barbara, CA, 2010, ISBN: 978-0-313-36328-3. J Agric Environ Ethics (2011) 24:545–547. DOI 10.1007/s10806-010-9267-1.
Rosset, PETER. 2011. Food Sovereignty and Alternative Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate Crises. Development, 2011, 54(1), (21–30). Society for International Development 1011-6370/11. www.sidint.net/development/
Santosa, Dwi Andreas. 2009. Ketahanan Vs Keadulatan Pangan. Opini pada Harian Kompas, 13 Januari 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557.
UNPFII (United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues). 2010. Cultural Indicators for Food Sovereignty and Sustainable Development Field Testing Report. http://www.worldwewant2015.org/node/295251
Urban Agriculture Australia. 2014. Food Sovereignty is The Right Of People To Determine Their Own Food Systems. http://www.urbanagriculture.org.au/information/urban-agriculture/food-sovereignty/ (12 Maret 2015)
Vaarst, Mette and Eliel González‐García. 2012. The concept of food sovereignty in relation to European Food Systems: importance, practical possibilities and challenges. http://ifsa2012.dk/wp-content/uploads/paper_Vaarst.pdf, 25 Februari 2015.
Via Campesina. 1996. The Right to Produce and Access to Land.  Position of the Via Campesina on Food Sovereignty presented at the World Food Summit, Rome, Italy. 13-17 November, 1996.
Via Campesina. 2006. The Doha is Dead! Time for Food Sovereignty, La Via Campesina Statement 29th July 2006.  http://www.viacampesina.org/main_en/index.php?option=com_content&task= view&id=196&Itemid=26 [accessed 31/07/2006].
Windfuhr, M. and J. Jonsen. 2005. Food Sovereignty: Towards democracy in localized food systems. ITDG Publishing, Rugby.
Wittman, Hannah. 2012. Food Sovereignty A New Rights Framework for Food and Nature? Environment and Society: Advances in Research 2 (2011): 87–105 © Berghahn Books doi:10.3167/ares.2011.020106.